Novel Terbaru "Aku Tidak Cantik" Part II" -- Novel Motivasi "Aku Tidak Cantik" Part II, Novel Inspirasi "Aku Tidak Cantik" Part II, Novel Cinta "Aku Tidak Cantik" Part II, Novel Anak Sekolah Menengan Atas "Aku Tidak Cantik" Part II. Hello Teman semua, kali ini saya ingin membuatkan sebuah kisah menarik yang terangkum dalam
Novel Terbaru "Aku Tidak Cantik" Part II. Novel ini merupakan lanjutan dari
Novel Terbaru "Aku Tidak Cantik" Part I. Langsung saja kita simak lanjutan novelnya berikut ini.
“Rachel!”
Sebuah bunyi mengejutkan lamunanku. Ternyata saya lagi ngaduk-ngadukin soda gembira. Ternyata saya lagi nongkrong di dagang bakso depan sekolah. Ternyata saya gres selesai ekstra basket. Ternyata saya lagi sama Odie. Haha. Gara-gara pikiran gilaku, waktu berasa lewat-lewat gitu aja. Perasaan tadi lagi di kelas matematika, kapan saya selesai sekolah? Kapan saya main basket? Kok saya sudah pakai seragam latihan?
Apa saya time traveler?
“Chel? Kenapa sih termangu aja?” Odie memandangku heran. Eh ia nanya ya? Bengong? Aku lho mikir.
“Aku berpikir, Die.” Jawabku.
“Ada PR susah?” tanyanya lagi.
Eh iya, ada PR tidak ya? Kan waktuku tadi kayak ke-skip gitu aja. Haha.
“Gak tau, Die, “ jawabku lagi.
Aku menyeruput sodaku. Dan kemudian terpekik. Ah ya kok lupa. Kesha mana ya?
“Kesha mana, Die?” tanyaku akhirnya. Odie menatapku heran.
“Kamu sakit, Chel?” ia meletakkan tangannya didahiku. “Panas sih, tapi kayaknya pengaruh olahraga barusan. Kamu kecapekan ya? Mau pulang aja kita?” lanjutnya. Ada nada khawatir pada ucapannya.
Apa sih Odie? Sakit apaan?
Aku geleng-geleng. Bi Santhi membawakan dua mangkuk bakso ke meja kami. Mana mungkin saya pulang.
“Aku gga papa, Odie. Cuma tadi saya lihat kau sama Kesha lagi ngomong serius.”
Odie menatapku dan mangkuk baksonya bergantian. Mungkin resah mana yang lebih penting, menanggapiku atau makan baksonya dulu mumpung masih anget.
“Makan dulu yuk agar kau gak salah fokus gitu.” Katanya akhirnya. Oke pesonaku fix kalah sama bakso.
Sambil menyantap baksonya, Odie mulai menjawab pertanyaanku.
“Kesha kan gga ikut basket, daritadi juga gga ada ketemu ia selain di kelas. Kan ia anak kelasku. Terus gga ada ngomong apa sih. Aku kan kelompok belajarnya bareng Jordan, ya maleslah Kesha deket-deket kita sehabis mereka putus.” Katanya.
Eh? Terus yang tadi saya lihat?
“Eh tapi tadi saya lihat lho, Die…” paksaku lagi.
Eh apa iya ya?
Tadi saya lihat mereka pakai baju formal, kayak mau ke prom. Kesha elok banget, pakai heels pakai dress, rambutnya di gerai ikal panjang dan ada highlight nya.
Oke fix saya mengkhayal kayaknya. Kapan coba ada prom.
Hadehh.
Odie menatapku tajam. Aku mulai salah tingkah. Dia niscaya menangkap ada yang absurd dari ucapanku. Jangan-jangan ia mikir saya mabuk.
“Bi Santhi soda gembiranya Rachel dipakein alkohol ya? Kok ia ngelantur sih!” ia bertanya dengan bunyi keras ke bibi penjual bakso. Bikin oran-orang yang lagi pada makan noleh. Bi Santhi mendongak dari balik rombongnya.
“Apaan sih Mas Odie, mana ada yang begitu di kawasan Bibi.” Katanya tertawa. Odie juga balas tertawa. Tapi habis itu ia melihatku tajam lagi.
“Kamu kenapa? Mulai suka mengkhayal?” tanyanya.
“Iya kayaknya. Aku hingga gga sadar jikalau saya disini. Tadi perasaan lagi kerjain soal matematika di kelas.” jawabku sambil menusuk bakso terakhir.
Odie menyeruput es susu cokelatnya sambil mengerutkan alis.
“Kamu kehilangan Ica sama Nadya banget ya?” tanyanya pelan.
Aku diam.
Tapi rasanya mau nangis.
Iya kehilangan. Tapi selain itu, saya …
Iri.
Kenapa kau tidak dapat ibarat mereka?
“Bi Santhi! Bakso dua lagi ya!” tiba-tiba Odie membuyarkan lamunanku. Eh? Apa ia bilang? Bakso lagi? Lah gimana saya dapat langsing kayak Ica jikalau si Odie ngejejalin sama makanan mulu.
“Gak, Die. Aku udah.” Kataku. Tapi kedengarannya tidak ikhlas. Soalnya bekerjsama saya masih mau. Cuma saya takut berat tubuh naik.
“Yah udah terlanjur dibuatin tuh, Chel.” kata Odie sambil nyengir. Ya udah alasannya terpaksa apa boleh buatlah.
Lama kami sama-sama membisu dan memainkan sedotan di gelas masing-masing.
“Die, jikalau nanti kau punya pacar, saya sama siapa dong?” kataku ketika bakso mangkuk kedua karenanya terhidang di meja.
“Ah?” tanyanya.
“Ya, sama pacarmu lah.” Jawabnya akhirnya.
Tuh kan. Odie juga bakalan pergi.
“Hmm. Kayaknya gga ada yang tertarik sama aku.” Kataku. Oke kedengarannya kok ngenes sekali ya?
Odie yang lagi mau masukin sepotong besar bakso jadi diem sebentar dengan pose menganganya.
“Itu yang jadi pikiranmu hingga gga sadar ngapai aja seharian ini?” tanyanya kemudian.
Aku mengangguk. Dan menunduk. Mainin kuah bakso.
“Chel, chel. Harus banget ya punya pacar?” tanyanya.
Aku kemudian mengalihkan pandanganku dari bakso dan menatapnya. Kok Odie makin ganteng ya jikalau lagi keringetan. “Takut aja. Kalau gga pernah ada yang suka sama saya gimana?”
“Kok takut?” tanyanya lagi.
“Ya jelaslah. Aku gga elok kayak Anita, gga putih kayak Riana, gga manis kayak Dhea. Gga juga seksi kayak Icha atau imut kayak Kiana. Apalagi sosialita kayak Kesha. Gimana dapat punya pacar?” tiba-tiba semuanya tertumpah.
Dan saya malu.
Kok kedengarannya saya iri hati banget ya?
Odie menggelengkan kepalanya.
“Kalau kau mikir gini, iya kau jelek. Jelek banget. Pakai banding-bandingin diri sendiri sama orang lain. Kamu jadikan kelebihan orang lain sebagai hal yang gga ada di diri kamu. Bukannya fokus sama kelebihanmu.” Katanya. ia bahkan berhenti makan.
Aku takut memandangnya.
Nada suaranya tidak bersahabat. Seharusnya saya tidak dongeng sama Odie.
Lama kami sama-sama diam. Dengan ekor mataku, saya lihat Odie menarik gelasnya. Aku tidak berani menatapnya.
“Rachel, kau selalu ceria. Selalu ramah. Selalu baik sama siapa aja. Kamu rajin dan gigih. Kamu pintar. Kamu elok apa adanya. Kenapa harus iri dengan apa yang dimiliki orang lain?” ia karenanya bersuara. Mungkin sehabis minum es susunya ia jadi lebih sabar menghadapiku.
Ah, saya semakin malu.
“Aku gga tau apa saya orang yang sempurna untuk bahas kecantikan. Tapi buat saya kau cantik. Dari dulu selalu cantik. Selalu yang paling elok dimataku, sehabis ibuku.” Lanjutnya.
Aku tersentak dan tak sadar menatapnya. Ia menatapku. Ia tidak terlihat bercanda.
“Tapi …”
“Berhenti mengeluhkan apa yang kau lihat bagus pada diri orang lain. Syukuri milikmu. Kalau kau ingin kulitmu cerah, lakukan perawatan. Yang biasa-biasa saja. Seperti ibu-ibu kita kan sering luluran tuh, kenapa kau tidak ikut? Kalau ingin tubuhmu lebih tinggi dan ramping, perbanyak olahraga. Kamu diajakin renang tiap weekend milih tidur mulu, gimana dong?” ia memotong ucapanku. dan bicara panjang lebar. “Kalau sudah lakukan itu semua dan hasilnya tetap begitu, ya sudah pasrahkan saja. Mungkin segitu aja udah kau yang paling cantiknya. Lagian mau secantik apa sih?”
“Entahlah. Sudah elok kayak Kesha aja masih diselingkuhin.” Jawabku tanpa berpikir.
Dan saya semakin malu mendengar jawabanku sendiri. Aku ibarat anak kecil yang merengek minta sesuatu tapi tak yakin apa itu.
“Itu alasannya terburu-buru ingin mencicipi cinta-cintaan. Belum dapat menjaga hati tapi ingin pacar-pacaran. Entahlah, jikalau saya sih merasa di usiaku kini belum saatnya saya punya pacar. Karena saya takurt melukai hati pacarku.” Ia berkata dengan datar.
Oh jadi alasan ia tak punya pacar selama ini ialah alasannya ia belum siap?
Aku masih membisu dan mematung. Bakso di mangkuk Odie sudah habis. Tapi di mangkukku masih banyak.
Ia tampaknya menyadari baksoku masih banyak, alasannya sehabis itu ia menancapkan garpunya di bakso yang paling besar di mangkukku.
“Heiii!!!!” tegurku tidak terima. Kami lagi serius terus kok ia malah manfaatin kesempatan buat nyomot baksoku sih.
Ia menguyah bakso curiannya pelan-pelan dan nampak sangat senang.
“Kalau kau masih ibarat itu, iri sama orang lain, kau akan jadi buruk beneran Rachel. Karena hatimu buruk dan itu berdampak sama auramu. Kalau kau jadi jelek, saya gak mau jadi pacarmu.” Katanya kemudian.
0 komentar:
Posting Komentar