Cerpen Cinta "Bagaimana Jika …" -- Cerpen Inspiratif "Bagaimana Jika …", Cerpen Renungan "Bagaimana Jika …", Cerpen Motivasi "Bagaimana Jika ...", Cerpen Cinta "Bagaimana Jika ..."
Kali ini admin akan membagikan sebuah dongeng yang terangkum dalam Cerpen Cinta Terbaru "Bagaimana Jika …". Cerpen ini sebaiknya dibaca pada malam hari sambil santai di kamar. Langsung saja dibaca Cerpen Terbaru "Bagaimana Jika …" berikut ini.
Kita hidup dalam dimensi yang sama, tapi memaknainya sanggup berbeda. Kebenaran katanya satu, tapi pada prakteknya benar di mata A belum tentu benar di mata B. Pun demikian apa yang kita yakini sebagai hal yang tidak benar, belum tentu merupakah hal yang salah.
Ya, apa yang kita yakini benar. Apa yang kita yakini sebagai apa yang terjadi versi kita. Apakah sama dengan yang dirasakan terjadi oleh orang lain?
Atau sebaliknya, apa yang diakui kebenaran yang terjadi bagi orang lain, apakah memang itu yang kita rasakan?
Bagaimana kalau … bagaimana kalau kita memang tidak pernah membicarakan hal yang sama?
Ini ialah refleksi masa lalu, masa-masa yang telah hilang dan berganti. Masa yang tidak akan pernah kembali walau dituntut kembali. Masa yang tidak akan terulang lagi meskipun dikondisikan biar kembali. Dan ini hanya refleksi. Bukan duduk kasus terjebak di ruang nostalgia ala-ala Raisa. Bukan juga tuntutan biar waktu berputar mundur. Tidak, sama sekali tidak.
Yang pergi biarlah pergi.
Yang berlalu biarlah berlalu.
Akan ada masanya, saat waktu akan kembali berganti.
Tapi, tentu tak ada yang sanggup menyalahkan kalau malam ini renungan saya membawa saya kembali pada lembaran hari yang telah berlalu. Karena memori ialah labirin tanpa ujung yang sanggup menciptakan insan berputar jalan di tempat. Tak sanggup keluar sekalinya masuk. Tak ada yang salah. Cukup biarkan ia mengalir. Dan cukup tuangkan dalam kata, sehingga terurai dengan indah.
Tiga tahun lalu, ya hampir tiga tahun. Dua tahun setengah lebih sedikit. Ah, bulatkan saja sudah tiga tahun lalu. Atau sebaiknya, kita ulang dari enam tahun lalu? Ya, lebih baik enam tahun lalu, atau enam setengah tahun lalu. Entahlah, tidak yakin. Ya, suatu masa di hari itulah. Biarkan memori saya yang mengingatnya dengan pasti.
Enam setengah hingga dua setengah tahun lalu? Terlalu lama. Tapi diantar periode itu. Saya pikir di antara periode itu. Rasanya ibarat hidup dalam dongeng dongeng. Bling-bling manis dengan gaun istimewa dan sepatu kaca. Tangan kanan selalu digandeng pangeran yang waktu itu terlihat paling tampan. Semua berjalan dengan lancar dan lempeng-lempeng saja. Sejenak, drama kehidupan yang biasanya lebih seru dari drama sabung di televisi, mereda. Begitu saja. Seperti saya lupa memarkir dimana naga saya. Entahlah, yang terang adegan zoom in zoom out dengan music horror tiba-tiba hilang dari peredaran. Everything seems too good to be true. But it happened.
Dalam sudut pandang saya.
Apalagi orang-orang yang selama ini berkomentar seolah menyetujui sudut pandang saya. Seolah melihat hal yang sama.
Tapi sekali lagi, niscaya ada yang melihatnya berbeda.
Atau mungkin dongeng ini memang punya dua sisi.
Satu sisi yang saya yakini bersama lainnya.
Dan sisi lain, yang ada dan tak pernah terungkapkan.
Sampai selesai tahun lalu, tidak pernah mencoba menelaah baik-baik apa yang terjadi.
Sampai selesai tahun lalu, saat tiba-tiba ada fakta terlewatkan yang menyembul naik ke permukaan tanpa permisi. Diperdengarkan dari verbal ke verbal yang kadar reliabilitasnya perlu ditanyakan.
Ada versi lain dalam sebuah dongeng yang saya yakini telah saya ketahui semua.
Tidak pernah benar bahwa putih ialah warna, melainkan kumpulan dari seluruh warna.
Tidaklah benar bahwa saya tahu semuanya sementara yang tercermin pada mata hanya satu. Satu yang paling sanggup diterima nalar sehat.
Meskipun tahu tidak akan mengubah apapun. Meskipun kebenaran tidak semua perlu dipertanyakan. Meskipun yang terjadi dan telah berlalu tidak elok untuk dibawa kembali.
Ya. Itu beliau masalahnya.
Apakah merubah fakta bahwa yang berakhir sudah memang berakhir, kalau kebanaran dua sisi terungkap? Bukankah sama saja. Yang berlalu akan tetap berlalu.
Sama ibarat kenyataan bahwa terjadi pembantaian keji pada tanggal 30 September 1965. Apakah masih penting untuk tahu siapa dalang utamanya toh pembantaian itu telah terjadi?
Untuk mencar ilmu dari sejarah.
Untuk tidak menyebar fitnah.
Untuk menegakkan keadilan.
Meskipun nyawa yang pergi tak kan pernah kembali?
Meskipun banyak nama yang kemudian merugi alasannya ialah disebut golongan kiri, berkhianat dan sebagainya?
Entahlah, mungkin penting.
Sekali lagi, semakin tidak terang apa itu kebenaran.
Bagaimana jika… bagaimana kalau kebenaran itu menyakitkan dan semakin menciptakan sakit yang ada menjadi tak sanggup diobati?
Apakah tetap perlu diangkat atau kuburkan secara perlahan hingga hati ini lupa pada perihnya?
Akankah merugi membuka pintu maaf dan memulai hidup baru?
Apakah hina untuk menentukan tidak tahu dan menjalani kebenaran versi yang diyakini?
Sehingga tidak banyak yang terluka.
Membagikan cinta pada sesama.
Berkoar pada idealisme semu untuk menegakkan kebenaran. Tapi terbelenggu sendirinya pada ketakutan akan kenyataan yang sebenarnya.
Apakah benar kita harus dikonfrontasi dengan benar mereka?
Ataukah cukup masing-masing berjalan sesuai arahnya.
Di persimpangan kita sama-sama berhenti. Dan kemudian mengarahkan kuda pacu ke arah yang sama sekali tidak bersisian lagi.
Hari itu kau pergi, sehabis bertahun lamanya membawakan dongeng tidur yang indah untuk mimpi saya.
Perlukah kebenaran-kebenaran lainnya diketahui.
Sementara kenangan indah itu layak dilupakan begitu saja. Tidak untuk dipanggil kembali dan diuji kebohongannya.
Bukanlah lebih tenang untuk membisu dan melupakan.
Tenang, membisu dan nantinya melupakan.
Bagaimana kalau … bagaimana kalau itu yang saya lakukan.
Sama ibarat di pengantar animo panas kala itu. Sama ibarat hembusan angin yang masih saja berhembus kencang walaupun itu animo panas. Sama ibarat tangis yang bercampur dengan hujan di animo gugur. Sama ibarat waktu harus memakai kacamata hitam di animo dingin. Sama ibarat pada waktu itu.
Kali ini pun lebih baik terjebak pada keheningan yang sama.
Bagaimana jika, itu jalan yang saya pilih.
Untuk tidak mendendam. Untuk tidak menuntut. Untuk tidak mencari kebenaran.
Bagaimana jika, ah tidak perlulah lagi kita berandai-andai.
Apapun yang terjadi, apapun yang dirasakan masing-masing. Pergi tetaplah pergi. Terima kasih untuk setiap pelajaran yang berharga.
Bagaimana jika, suatu hari kita bertemu dan saya menyapamu dengan senyum sehangat Sembilan tahun lalu.
Tapi sehabis saya kembali ke masa itu, ke Sembilan tahun kemudian itu. Oh tidak, bukan Sembilan tahun, tapi delapan setengah tahun yang kemudian itu. Saya ingat, senyum saya sama sekali tidaklah hangat.
Ya, bagaimana kalau suatu hari nanti kita bertemu kembali. Pada hari yang biasa. Pada waktu yang tidak kita rencanakan. Bagaimana kalau saya kembali menyapamu dengan senyum agak mencibir itu.
(Inspired by a ‘linear’ artist, thanks!)
Baca juga ;
Itulah Cerpen Terbaru "Bagaimana Jika …" karangan Ratih Ayu Apsari. Semoga cerpen tersebut sanggup menawarkan pesan watak yang baik untuk kita semua. Jangan lupa untuk share (G+1 / FB) cerpen ini pada teman-teman lainnya. Terima kasih dan silahkan baca-baca artikel lainnya di blog ini.
0 komentar:
Posting Komentar