Tuluskah Kita Menyayangi Nabi Saw?
Oleh : Arief B. Iskandar
Memasuki bulan Rabi’ul Awwal ibarat dikala ini, sebagian umat Islam biasa merayakan Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. dengan segala mulut kegembiraan dan rasa syukur. Tentu itu dilakukan lantaran dorongan rasa cinta umat ini kepada beliau. Namun demikian, sepantasnya—terutama dalam suasana Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. ini—setiap Muslim merenungkan satu pertanyaan saja: Tuluskah kita menyayangi Rasulullah saw.?
Terkait pertanyaan di atas, saya ingin mengutip sebuah riwayat dalam Kitab Shahih al-Bukhari. Disebutkan kira-kira demikian: Suatu hari, Senin, Tsuwaibah tiba kepada tuannya, Abu Lahab seraya memberikan kabar wacana kelahiran bayi mungil berjulukan Muhammad, keponakan barunya. Mendengar itu Abu Lahab pun bersukacita. Ia kegirangan seraya meneriakkan kata-kata kebanggaan sepanjang jalan.
Sebagai bentuk luapan kegembiraan, ia segera mengundang para tetangga dan kerabat dekatnya untuk merayakan kelahiran keponakan tercintanya ini: bayi pria yang mungil, lucu dan sempurna.
Sebagai penanda sukacitanya, ia pun berkata kepada budaknya, Tsuwaibah, di hadapan khalayak ramai yang mendatangi usul perayaan kelahiran keponakannya itu, “Tsuwaibah, sebagai tanda syukurku atas kelahiran keponakanku (Muhammad), anak dari saudara laki-lakiku, Abdullah, maka kau menjadi insan merdeka mulai hari ini!”
Sayang, siapapun tahu, kelak Abu Lahab—yang notabene paman Nabi Muhammad saw. ini—justru tampil menjadi salah satu musuh utama beliau. Ia mengingkari risalah kenabian ia sekaligus menentang al-Quran yang ia bawa. Karena itu sosoknya kemudian dikecam dalam satu surat tersendiri dalam al-Quran, yakni Surat Al-Masad.
Namun demikian, lantaran mulut kegembiraannya menyambut kelahiran Muhammad, Abu Lahab mendapat dispensasi siksaan, yakni pada setiap hari Senin. Imam al-Hafizh as-Suyuthi berkata dalam Al-Hawy (I/196-197), “Saya melihat Imamul Qurra`, Al-Hafizh Syamsuddin Ibnul Jauzi, berkata dalam kitab ia yang berjudul, ‘Urf at-Ta’rif bi al-Mawlid asy-Syarif, dengan teks sebagai berikut: Telah diperlihatkan Abu Lahab sehabis meninggalnya di dalam mimpi. Dikatakan kepada dia, “Bagaimana keadaanmu?” Dia menjawab, “(Aku) di dalam neraka. Hanya saja, diringankan atas diriku siksaan setiap malam Senin. Hal ini lantaran saya memerdekakan Tsuwaibah ketika dia memberikan kabar gembira kepadaku wacana kelahiran Muhammad dan lantaran dia telah menyusuinya.”
As-Suyuthi berkata, “Jika Abu Lahab yang kafir ini, yang telah dicela oleh al-Quran, diringankan siksaannya dengan alasannya ialah kegembiraannya lantaran kelahiran Nabi Muhammad saw., maka bagaimana lagi keadaan seorang Muslim dari kalangan umat ia yang bertauhid, yang gembira dengan kelahiran ia dan mengerahkan seluruh kemampuannya dalam menyayangi beliau?! Saya bersumpah, tidak ada akibat dari Allah Yang Maha Pemurah kecuali Dia akan memasukkannya ke dalam surga.”
Riwayat wacana Abu Lahab ini pun dicantumkan di dalam Kitab Al-Barjanji yang terkenal, juga dinukil oleh Syaikh Muhammad bin Alwi al-Maliki dalam risalahnya, Hawla al-Ihtifal bi al-Mawlid hlm.8.
Riwayat ini kemudian dijadikan 'dalil' oleh sebagian ulama wacana keabsahan merayakan Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw.
Tentu menarik kalau riwayat ini dikaitkan dengan realitas umat Islam hari ini. Banyak dari umat ini yang begitu antusias dengan Perayaan Kelahiran Nabi Muhammad saw. Namun, dikala yang sama, sebagian dari mereka—khususnya para penguasanya—sering tak berbeda sikapnya dengan Abu Lahab: mengabaikan al-Quran yang dibawa oleh Nabi saw., mencampakkan syariahnya dan menolak hukum-hukumnya dengan banyak sekali alasan.
Padahal bukankah demi al-Quran, syariah dan hukum-hukumnya, Nabi Muhammad saw. dilahirkan dan diutus?
Jika demikian, sekali lagi kita layak bertanya kepada diri sendiri: Tuluskah kita menyayangi Rasulullah saw.?
Di sisi lain, kita berduka sekaligus murka dikala al-Quran yang dibawa oleh Rasulullah saw. dinistakan.
Namun, apakah kita juga berduka dan murka dikala al-Quran sekian usang dicampakkan; dikala syariahnya sekian usang tak dipedulikan; dan dikala hukum-hukumnya sekian usang tak diterapkan?
Padahal bukankah demi al-Quran, syariah dan hukum-hukumnya, Nabi Muhammad saw. rela mengorbankan harta, keluarga, bahkan jiwanya?
Jika demikian, kita pun layak bertanya kepada diri sendiri: Tuluskah mulut kesedihan dan kemarahan kita dikala al-Quran dinistakan?
Faktanya, kita pun telah mengecewakan beliau. Bahkan kita telah benar-benar menyakiti perasaan ia sampai ia mengadu kepada Allah SWT: “Tuhanku, bahwasanya kaumku telah mengakibatkan al-Quran ini sebagai kasus yang diabaikan.” (TQS al-Furqan [25]: 30).
Semoga kita tidak ibarat Abu Lahab, yang hanya bersukacita atas kelahiran Nabi Muhammad saw., tetapi dikala yang sama mengabaikan al-Quran, menolak syariahnya dan enggan diatur dengan hukum-hukumnya.
Wa ma tawfiqi illa bilLah. []
#KhilafahAjaranIslam
#KhilafahSolusiBersama
#ReturnTheKhilafah
0 komentar:
Posting Komentar