Kabar Gembira Buat kamu yang ga sengaja kunjungi Blog ini !!!

jarang-jarang kamu bisa nemuin Harga SOUVENIR se Murahini..

karena ini kami buat sengaja buat kamu yang ga sengaja berkunjung ke Blog kami dengan ulasan kami selain dari ulasan souvenir

Nah buat kamu yang tertarik dengan Harga-harga souvenir kami, bisa langsung hubungi whatsapp kami di 081296650889 atau 081382658900

caranya screenshoot atau sertakan link url souvenir yang kamu minati pada blog ini, kirimkan kepada kami di nomer yang sudah tertera dia atas

tanpa screenshoot atau link blog kami, kemungkinan kami akan memberikan harga jual yang ada pada toko kami yang cenderung lebih tinggi tentunya

Sabtu, 18 Agustus 2018

Bolehkah Puasa Arafah Berbeda Dengan Wukuf Di Arafah?

0



Oleh : KH. Muhammad Shiddiq Al Jawi

Haram hukumnya Muslim berpuasa Arafah pada hari yang berbeda dengan waktu wukuf di Arafah. Inilah pendapat terkuat (rajih) dalam duduk kasus ini menurut dua dalil sebagai berikut :




Pertama, alasannya yaitu puasa hari Arafah yang berbeda dengan hari wukuf di Arafah telah menyimpang dari definisi syariah (al ta’rif al syar’i) untuk puasa hari Arafah. Imam Badruddin Al ‘Aini menjelaskan bahwa “hari Arafah” (yauma ‘Arafah) menawarkan waktu (al zamaan) dan kawasan (al makaan) sekaligus. Dari segi waktu, hari Arafah yaitu hari ke-9 bulan Dzulhijjah. Sedang dari segi tempat, hari Arafah yaitu hari di mana para jamaah haji berwukuf di Arafah. (Badruddin Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari Syarah Shahih Al Bukhari, syarah hadits no. 603, 5/339; Ibnu Qudamah, Al Mughni, 5/44).

Jadi, definisi syar’i untuk “hari Arafah” (yauma ‘Arafah) yaitu hari yang para jamaah haji berwukuf di Arafah (al yaumu alladzi yaqifu fiihi al hajiij bi-‘arafah). Definisi inilah yang dianggap berpengaruh (rajih)oleh Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta (Dewan Tetap untuk Pengkajian Ilmiah dan Fatwa Saudi) di bawah pimpinan Syeikh Abdul Aziz bin Baz, juga oleh Lajnah Al Ifta` Al Mashriyyah (Dewan Fatwa Mesir), Syeikh Hisamuddin ‘Ifanah dari Yordania, Syeikh Abdurrahman As Sahiim, dan lain-lain. (Abu Muhammad bin Khalil, An Nuur As Saathi’ min Ufuq Al Thawaali’ fi Tahdiid Yaumi ‘Arafah Idzaa Ikhtalafal Mathaali’, hlm. 3).

Definisi tersebut didasarkan pada beberapa dalil hadis. Di antaranya sabda Rasulullah ï·º, ”Arafah yaitu hari yang kau kenal.” (’arafah yauma ta’rifuun). (HR. Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 5/176, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jami’, no 4224).

Maka dari itu, kalau seorang Muslim berpuasa Arafah pada hari yang dianggapnya tanggal 9 Dzulhijjah, namun bukan hari wukuf di Arafah, contohnya berpuasa satu hari sebelumnya maupun sesudahnya, berarti ia telah menyalahi aturan syariah.

Padahal Islam telah melarang seorang Muslim untuk melaksanakan amal yang menyalahi aturan syariah, menurut dalil umum dari sabda Rasulullah ï·º, ”Barangsiapa melaksanakan suatu perbuatan (‘amal) yang tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak.” (HR. Bukhari no 2550; Muslim no 1718).

Kedua, alasannya yaitu berpuasa Arafah secara berbeda dengan waktu wukuf di Arafah telah menyalahi patokan wajib untuk memilih Idul Adha dan rangkaian manasik haji di bulan Dzulhijjah, yaitu rukyatul hilal yang dilakukan oleh Wali Mekkah (penguasa Mekah). Dengan kata lain, patokannya bukanlah hisab, dan juga bukan rukyatul hilal di masing-masing negeri Islam menurut prinsip ikhtilaful mathali’ (perbedaan mathla’).

Yang lebih tepat, perbedaan mathla’ tidak sanggup dijadikan patokan (laa ‘ibrata bikhtilaf al mathali’), dikarenakan telah terdapat dalil khusus yang menawarkan bahwa penentuan Idul Adha, termasuk waktu manasik haji menyerupai wukuf di Arafah, wajib mengikuti rukyatul hilal Wali Mekah, bukan yang lain. Barulah lalu kalau Wali Mekah tidak berhasil merukyat hilal, Wali Mekah mengamalkan rukyat dari negeri-negeri Islam di luar Mekah.

Dari Husain bin Al-Harits Al-Jadali رضي الله عنه dari Jadilah Qais, ia berkata, “Amir (penguasa) Mekah berkhutbah lalu ia berkata, ”Rasulullah ï·º telah berpesan kepada kita semoga kita menjalankan manasik haji menurut rukyat. Lalu kalau kita tidak melihat hilal, dan ada dua orang saksi yang adil yang menyaksikannya, maka kita akan menjalankan manasik haji menurut kesaksian keduanya.” (HR. Abu Dawud, hadis no 2340. Imam Daruquthni berkata, "Hadis ini isnadnya muttashil dan shahih.” Lihat Sunan Ad Daruquthni, 2/267. Syeikh Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud(2/54) berkata, ”Hadis ini shahih.”).

Hadis ini menawarkan bahwa yang memiliki otoritas memutuskan hari-hari manasik haji, menyerupai hari Arafah dan Idul Adha, yaitu Amir Mekah (penguasa Mekah), bukan yang lain. Maka berpuasa Arafah secara berbeda dengan hari Arafah alasannya yaitu mengikuti rukyat masing-masing negeri Islam, haram hukumnya, dikarenakan telah meninggalkan patokan wajib yang ditetapkan Rasulullah ï·º, yaitu rukyatul hilal penguasa Mekah. Wallahu a’lam.[]

============================
"Barangsiapa mengajak kepada petunjuk, pasti ia mendapat pahala menyerupai pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun." (HR. Muslim)
==============================

0 komentar:

Posting Komentar

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com